Thursday, May 05, 2005

Hartaku itu buku!

Salah satu hartaku adalah buku. Buku-buku-buku.

Sekarang aku sedang mencoba baca buku-buku yang lebih "gemuk" dari sekedar komik-komik Jepang (manga masih jalan terus, sekedar jadi penyambung nyawa kalau udah boring berat), seperti Sex, Power & Nation-nya Julia Suryakusuma (in English, yg bikin patah semangat adalah foreword nya bilang bahwa itu includes sejumlah disertasinya waktu kuliah s2 or s3 - technical and political terms nya blon nyampe), Jazz, Parfum dan apa ya? nya Seno Gumira Ajidarma, Seks (lagi), something dan something nya Ayu Utami (hmm semuanya ada esek-eseknya... pasti judul tipuan yang membuat orang membelinya cuma cari esek-esek), kumpulan cerpennya Cecep Syamsul Hari yang didiskon 20% (didiskon atau tidak, gue akan membelinya karena gue suka puisinya kang Cecep), lalu novel Jepang (hai hai) baru, Samurai yang katanya beraura-aura James Clavell's Shogun.

Sejauh ini aku masih icip-icip setiap buku, kayaknya lumayan lezat. Yang penting berisi dan bergizi buat otak (ha ha), bukan junk food eh junk book.

Setelah mencari di sekian toko buku (QB PS, QB Plangi, Gramedia PIMall) akhirnya aku menemukan si Life of Pi (terjemahannya jadi Kisah Pi). Bagus bagus. Segera mengantri untuk dibaca.

I always love books. Pertama kali aku mengingat, aku baca majalah Bobo, yang mendorongku untuk membaca adalah karena orang-orang rumah nggak mau bacain Bobo lagi, padahal aku sudah memelas "Bacain dong... yang berwarnaaaaaaaa aja"Akhirnya dengan tekad keras membaja aku belajar baca (kalo nggak salah pas TK). Prosesnya gimana, aku juga nggak ingat lagi. Akhirnya aku bisa membaca, tralala lala lala.
Obsesi membaca Bobo ini keterusan sampai akhirnya waktu aku les piano, aku malah meminjam majalah2 Bobo zaman dulu milik anaknya guru les, untuk dibaca di rumah. Bukannya berlatih!

Level selanjutnya, mulai dengan memborong cergam (dulu komik istilahnya 'cergam') petruk gareng di pasar Senen (masih ada tidak ya sekarang?). Walaupun humornya garing dan agak-agak omes (untuk ukuran dulu), tapi waktu itu rasanya kocak saja. Aku sampai harus rebutan cergam Petruk Gareng dengan kakak cowokku waktu itu. Sampai akhirnya ibuku memisahkan untuk kakakku setumpuk, dilabeli huruf E (inisial namanya).

Minat baca yang menggila mulai nggak terbendung lagi oleh komik. Buku-buku Enid Blyton juga sudah habis dilahap (waktu itu kakak perempuanku koleksi serial sekolah berasrama, jadi untuk sementara kelaparanku terpenuhi). Lalu mulai mengganyang yang lain-lain termasuk majalah Tempo bokap dan majalah-majalah wanita ibuku (yang belum begitu dimengerti).

Lalu SD, ketika main ke rumah tanteku, tiba-tiba aku menemukan buku butut kekuningan yang dijilid tebal. "Apa ini" kataku, lalu dijawabnya, "Oh itu kho ping hoo". Cerita silat. Aku mulai dari Pendekar Pulau Es.. walaupun itu ternyata berada di tengah-tengah, di lanjut terus jilid demi jilid, seri demi seri.... sampai seluruh serial pulau es kuhabiskan. Lalu the rest of Kho Ping Hoo's collections. Bosan, beralih ke penulis dengan imajinasi lebih gila seperti Gan KL.

Sampai SMP kayaknya aku baca 'kitab', sampai kadang aku tidur jam 3 dini hari karena tidak bisa berhenti baca (kalau sudah seru-serunya, pinginnya terus saja). Sepupuku ikutan baca juga, tapi dia selalu ketinggalan beberapa bundel, sampai akhirnya tanteku yang ngedrop komiknya datang dengan lanjutan ceritanya.

Di SMA aku ketemu teman-teman penggemar manga (komik Jepang) dan anime, jadi lebih banyak main ke Gramedia, berdiri selama 6 jam dan membaca komik dalam baju seragam (biasanya hari Sabtu). Lumayan juga yang bisa dihasilkan dari baca berdiri itu. Cuma kaki saja yang pegal.

Kuliah aku sudah mulai baca yang namanya puisi. Karena kurasa kok, ada sisi-sisi yang menyentuh (maklum pubernya telat). Ada sensasi yang serupa dengan pengalaman hidupku. Puisi juga nggak panjang seperti cerita, tapi bisa mengandung makna yang sama, bahkan kadang lebih sarat. AKu jadi coba-coba tulis puisi (walaupun gagal). Tapi aku kadang puas dengan yang kutulis. Biasanya inspirasinya dari fenomena alam yang kusukai, seperti hujan, angin atau laut. Atau perasaan-perasaan yang terlampau malu untuk dikatakan.
Aku mulai dengan Khalil Gibran. Terus Pablo Neruda, terus baca juga karya lokal seperti Goenawan Mohammad (masih suka amaze kalo baca 'Kumpulan Puisi Lengkap' nya yang dapat penghargaan itu). Baca juga Hemingway, lalu Keats. Aku suka Cummings. Lalu ada yang beliin kumpulan lengkap karya cummings yang belum tamat sampai sekarang (karena banyak yang nggak ngerti). AKu suka juga karya penyair muda seperti Dee, Ayu Utami, Fira Basuki, banyak lagi.

Pinginnya nanti kalau sudah mentok jadi desainer, nulis aja lah. Bisa nggak ya tapi ? Kayaknya mudah, padahal kalau dilakukan rasanya susah. Kata-kata yang ingin dikeluarkan ternyata kabur entah ke mana. Sementara maksud yang ingin disampaikan mendesak-desak pingin ditumpahkan. Jadinya ada lost ring.

may i join you?

may i join you in this complete silence?
would you include me in your deep solitude
while you're taking bite by tiny bite of your time
can i be here with you?

two people can't make a crowd
but i heard those noises from inside your heart
would you want me to help you?


Biasanya di luar negeri, kalau kita sedang makan siang di sebuah restoran atau kantin, lalu mejanya penuh, kita akan terpaksa berbagi meja dengan orang lain. Orang yang betul-betul tak dikenal. Dia biasanya berkata,

"May I join you?"

Dan kita akan berkata, "Silahkan..."

Mungkin dengan bersungut-sungut. Atau ngedumel dalam hati.

Betapa ingin kudengar kata-kata itu. Saat makan sendiri, gigitan demi kunyahan tak begitu sedap lagi. Yang terasa hanya kesendirian. Dan rasanya tak begitu lezat. Tapi di negeri ini, biar sepenuh apapun kantin atau rumah makan, tak juga ada yang mengatakan "May I join you" padaku. Jadi terpaksa kutelan juga suap demi suap sepi itu yang makin lama makin menggumpal di tenggorokan, tak jua tertelan.

Begitu banyak yang ingin kubicarakan di atas sepiring fetuccine carbonara ini, teman.

Mungkin tentang betapa banyak merica yang ditaburkan. Atau kenapa hujan mendadak turun setelah seminggu mogok mengguyur kota. Atau kenapa makanku lebih banyak bila ada yang menemani dibandingkan bila sendiri?

Itu juga kalau kau peduli. Tapi tentu kau peduli, teman. ^_^